Perang Puputan Di Bali
Perang Puputan di Bali. Semenjak Indonesia berada dalam masa Hindia Belanda ada banyak sekali peperangan yang terjadi di Indonesia. Perang melawan kekuasaan Hindia Belanda terjadi di mana-mana. Pada kesempatan ini kita akan membahas wacana Perang Puputan di Bali. Perang Puputan di Bali perlu kita ketahui semoga semangat nasionalisme kita bertambah. Pada tahun 1830-an pemerintahan Hindia Belanda aktif menanamkan pengaruhnya di Bali. Perkembangan dominasi Belanda inilah yang lalu menyulut api perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang populer dengan sebutan “Perang Puputan”. Berikut ini klarifikasi singkat wacana Perang Puputan di Bali.
Untuk itu, Belanda mengirim dua utusan dengan misi masing-masing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi, kedua, Huskus Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar. Tetapi misi politik menghadapi banyak sekali kendala. Huskus Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali semoga bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Misalnya, dengan Raja Badung (28 November 1842), dengan Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), dengan Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), dengan Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang semoga dihapuskan.
Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali sanggup mendapatkan perjanjian untuk meratifikasi pembatalan Hukum Tawan Karang. Tetapi hingga tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melaksanakan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga wilayahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap tragedi ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem semoga melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati. Belanda juga menuntut semoga Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang menerima dukungan patihnya, I Gusti Ktut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan I Gusti Ktut Jelantik sudah melaksanakan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Dengan demikian perang tidak sanggup dihindarkan.
Patih Ktut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng juga menerima dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah tiba pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang eksklusif menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan maritim yang tiba dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng, dibantu oleh para pejuang Karangasem, dan Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian.
Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ktut Jelantik beserta pasukannya, terpaksa mundur hingga ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah timur Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian.
Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: (1) Dalam waktu tiga bulan, Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah dipakai dan dihentikan membangun benteng baru, (2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ktut Jelantik kepada pemerintah Belanda, (3) Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tekanan dan paksaan Belanda itu mencoba ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang akal-akalan mendapatkan isi perjanjian itu. Tetapi di balik itu Raja dan Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang berpengaruh bagaikan gelar-supit urang. Rakyat juga sengaja tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 ketika ada kapal-kapal absurd terdampar di Pantai Kusumba Klungkung, tetap dirampas oleh kerajaan. Sudah tentu hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda lalu mengeluarkan ultimatum semoga raja-raja di Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.
Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng lalu mengirim kurir untuk meminta santunan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali, sehingga tiba pasukan perhiasan dari Klungkung, Karangasem, Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan Patih Ktut Jelantik terus memperkuat pasukannya.
Menghadapi hal tersebut Belanda terus meningkatkan kekuatannya. Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, telah mendarat bala santunan Belanda di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten, Letkol Sutherland Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ktut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero Jempiring bisa menyebarkan pertahanan dengan gelar-supit urangsehingga sanggup menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang serdadu sanggup ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Kekalahan Belanda itu cukup menyakitkan perasaan pimpinan Belanda di Batavia. Oleh alasannya yaitu itu, dipersiapkan pasukan yang lebih berpengaruh untuk melaksanakan pembalasan. Awal April 1849 telah tiba kesatuan serdadu Belanda dalam jumlah besar menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, yakni tanggal 16 April sore hari semua kekuatan di Jagaraga sanggup dilumpuhkan oleh Belanda. Runtuhlah Benteng Jagaraga sebagai menunjukan lenyapnya kedaulatan rakyat Buleleng. Raja Buleleng diikuti I Gusti Ktut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbunuh dalam upaya untuk mempertahankan diri.
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul lalu bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Tetapi nampaknya tidak gampang Belanda untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.
Dengan mengetahui sejarah wacana perang Puputan di Bali, semoga kita bisa lebih memahami bagaimana usaha bangsa Indonesia ketika masih dalam masa Hindia Belanda. Demikian artikel kami wacana Perang Puputan di Bali. Semoga artikel kami wacana Perang Puputan di Bali bermanfaat bagi para pembaca.
Mengapa terjadi Perang Puputan di Bali?
Mengapa terjadi Perang Puputan di Bali? Pada era ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Misalnya Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali, tidak sekedar urusan dagang tetapi menyangkut sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan tentara pemerintah Hindia BeIanda. Tetapi dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan dampak dan berkuasa di Bali.Untuk itu, Belanda mengirim dua utusan dengan misi masing-masing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi, kedua, Huskus Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar. Tetapi misi politik menghadapi banyak sekali kendala. Huskus Koopman terus berusaha mendekati raja-raja di Bali semoga bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Misalnya, dengan Raja Badung (28 November 1842), dengan Raja Karangasem ( 1 Mei 1843), dengan Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), dengan Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang semoga dihapuskan.
Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali sanggup mendapatkan perjanjian untuk meratifikasi pembatalan Hukum Tawan Karang. Tetapi hingga tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melaksanakan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga wilayahnya Buleleng). Belanda protes keras terhadap tragedi ini. Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem semoga melaksanakan isi perjanjian yang telah disepakati. Belanda juga menuntut semoga Buleleng membayar ganti rugi atas kapal Belanda yang dirampas penduduk. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem yang menerima dukungan patihnya, I Gusti Ktut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Bahkan I Gusti Ktut Jelantik sudah melaksanakan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Dengan demikian perang tidak sanggup dihindarkan.
Patih Ktut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Dalam pertempuran ini Raja Buleleng juga menerima dukungan dari Kerajaan Karangasem dan Klungkung. Sementara, pada tanggal 27 Juni 1846 telah tiba pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang eksklusif menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Di samping itu, masih ada pasukan maritim yang tiba dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang dari Buleleng, dibantu oleh para pejuang Karangasem, dan Klungkung melawan Belanda. Selama dua hari para pemimpin, prajurit, dan rakyat Buleleng bertempur mati-matian.
Mengingat persenjataan Belanda lebih lengkap dan modern, maka para pejuang Buleleng semakin terdesak. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ktut Jelantik beserta pasukannya, terpaksa mundur hingga ke Desa Jagaraga (sekitar 7 km sebelah timur Singaraja). Pasukan Belanda terus mendesak para pejuang dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian.
Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain: (1) Dalam waktu tiga bulan, Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah dipakai dan dihentikan membangun benteng baru, (2) Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ktut Jelantik kepada pemerintah Belanda, (3) Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tekanan dan paksaan Belanda itu mencoba ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang akal-akalan mendapatkan isi perjanjian itu. Tetapi di balik itu Raja dan Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang berpengaruh bagaikan gelar-supit urang. Rakyat juga sengaja tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang. Pada tahun 1847 ketika ada kapal-kapal absurd terdampar di Pantai Kusumba Klungkung, tetap dirampas oleh kerajaan. Sudah tentu hal ini menimbulkan amarah dari Belanda. Belanda lalu mengeluarkan ultimatum semoga raja-raja di Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani.
Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda itu. Rakyat justru dipersiapkan untuk melawan kekejaman Belanda. Raja Buleleng lalu mengirim kurir untuk meminta santunan pasukan dari kerajaan-kerajaan lain di Bali, sehingga tiba pasukan perhiasan dari Klungkung, Karangasem, Mengwi. Belanda mengetahui bahwa Raja Buleleng membangkang dan Patih Ktut Jelantik terus memperkuat pasukannya.
Menghadapi hal tersebut Belanda terus meningkatkan kekuatannya. Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848, telah mendarat bala santunan Belanda di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dimulai. Sebagai pemimpin tentara Belanda antara lain: J. van Swieten, Letkol Sutherland Benteng Jagaraga terus dihujani meriam. Namun pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ktut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero Jempiring bisa menyebarkan pertahanan dengan gelar-supit urangsehingga sanggup menjebak pasukan Belanda. Lima orang opsir dan 74 orang serdadu sanggup ditewaskan ditambah lagi tujuh opsir dan 98 serdadu Belanda luka-luka. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Dengan terbunuhnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka jatuhlah Kerajaan Buleleng ke tangan Belanda. Menyusul lalu bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Tetapi nampaknya tidak gampang Belanda untuk menguasai Pulau Bali. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.
0 Response to "Perang Puputan Di Bali"
Post a Comment