-->

Asal Undangan Perang Padri

Asal Usul Perang Padri

Perang Padri. Semenjak Indonesia berada dalam masa kolonial, ada banyak sekali peperangan yang terjadi di Indonesia. Perang melawan para penjajah terjadi di mana-mana. Pada kesempatan ini kita akan membahas wacana Perang Padri. Perang Padri perlu kita ketahui biar semangat nasionalisme kita bertambah. Berikut ini klarifikasi singkat wacana Perang Padri.


Asal Nama Perang Padri

Asal Nama Perang Pandri. Ada beberapa pendapat mengenai istilah padri. Ada yang mengatakan, padri berasal dari kata Portugis, padre yang artinya “bapak”, sebuah gelar yang biasa diberikan untuk golongan pendeta. Ada pula yang menyampaikan berasal dari kata Pedir, sebuah kota Bandar di pesisir utara Aceh, tempat transit dan pemberangkatan kaum muslimin yang akan melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Di Minangkabau pada awal masa XIX istilah padri belum dikenal. Waktu itu hanya popular sebutan golongan hitam dan golongan putih. Penamaan ini didasarkan pada pakaian yang mereka kenakan.

Golongan putih yang pakaiannya serba putih ialah para pembaru, lalu oleh penulis-penulis sejarah disebut sebagai kaum Padri/Padri. Belum diketahui mengapa golongan putih ini mereka sebut sebagai kaum Padri, sedangkan untuk golongan hitam merupakan kelompok yang menggunakan pakaian serba hitam. Kelompok ini merupakan kelompok yang mempertahankan paham yang terlebih dahulu sudah berkembang lama di Minangkabau, sehingga juga dikenal sebagai golongan adat. Itulah asal usul nama Padri


Terjadinya Perang Padri

Terjadinya Perang Padri. Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821 – 1837. Perang Padri digerakkan oleh para pembaru Islam yang sedang konflik dengan kaum Adat. Mengapa dan bagaimana Perang Padri itu terjadi? Perang Padri bekerjsama merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat. Perang Padri bermula adanya kontradiksi antara kaum Padri dengan kaum Adat. Adanya kontradiksi antara kaum Padri dengan kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda. Perlu dipahami sekalipun masyarakat Sumatera Barat sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh etika dan kebiasaan yang adakala tidak sesuai dengan fatwa Islam.

Sejak simpulan masa ke-18 telah tiba seorang ulama dari kampung Kota Tua di daratan Agam. Karena berasal dari kampung Kota Tua maka ulama itu populer dengan nama Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua ini mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik agama Islam. Dengan melihat realitas kebiasaan masyarakat, Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari fatwa Islam. Ia menyampaikan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai dengan Al Alquran dan Sunah Nabi.

Di antara murid dari Tuanku Kota Tua ini ialah Tuanku Nan Renceh. Kemudian pada tahun 1803 datanglah tiga orang ulama yang gres saja pulang haji dari tanah suci Mekah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang. Mereka melanjutkan gerakan pembaruan atau pemurnian pelaksanaan fatwa Islam menyerupai yang pernah dilakukan oleh Tuanku Kota Tua. Orang-orang yang melaksanakan gerakan pemurnian pelaksanaan fatwa Islam di Minangkabau itu sering dikenal dengan kaum Padri. Mengenai sebutan padri ini sesuai dengan sebutan orang Padir di Aceh. Padir itu tempat persinggahan para jamaah haji. Orang Belanda menyebutnya dengan padri yang sanggup dikaitkan dengan kata padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih. Sementara kaum Adat di Sumatera Barat menggunakan pakaian hitam.

Dalam melaksanakan pemurnian praktik fatwa Islam, kaum Padri menentang praktik banyak sekali etika dan kebiasaan kaum Adat yang memang dihentikan dalam fatwa Islam menyerupai berjudi, menyabung ayam, minum-minuman keras. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Terjadilah kontradiksi antara kedua belah pihak. Timbullah bentrokan antara keduanya.

Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa kawasan lalu diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi akomodasi oleh kaum Adat berhasil menduduki Simawang. Di kawasan ini telah ditempatkan dua meriam dan 100 orang serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.

Perang Padri di Sumatera Barat ini sanggup dibagi dalam tiga fase. Tiga fase dalam perang padre antara lain sebagai berikut :

1. Perang Padri tahap pertama yaitu terjadi pada tahun 1821 – 1825

Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi target serbuan kaum padri.

Perlawanan kaum Padri muncul di banyak sekali tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh harus menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821 - 1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau.

Bulan September 1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda dari Sungai Puar, Guguk Sigandang dan Tajong Alam. Menyusul lalu di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan PH. Marinus. Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kemudian kesatuan kaum Padri yang populer ialah yang berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka ialah Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol. Ia sangat gigih memimpin kaum Padri untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.

Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka Belanda mengambil seni administrasi damai. Oleh lantaran itu, pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah negosiasi tenang antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol juga tidak keberatan dengan adanya perjanjian tenang tersebut. Akan tetapi Belanda justru dimanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Kemudian Belanda juga memaksa Tuanku Mensiangan dari Kota Lawas untuk berunding, tetapi ditolak.

Tuanku Mensiangan justru melaksanakan perlawanan. Tetapi Belanda lebih besar lengan berkuasa bahkan pusat pertahannya lalu dibakar dan Tuanku Mensiangan ditangkap. Tindakan Belanda itu telah menjadikan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan penghapusan kesepatakan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda. Dengan demikian perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di banyak sekali tempat.

2. Perang Padri tahap kedua yaitu terjadi pada tahun 1825 – 1830

Bagi Belanda tahun ini dipakai untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri lantaran di Jawa terjadi perang Diponegoro. Terjadinya perang diponedoro di JAwa menciptakan Belanda fokus mengatasi pertempuran di Jawa. Upaya tenang diusahakan sekuat tenaga. Oleh lantaran itu, Kolonel De Stuers yang merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan perjanjian damai. Kaum Padri tidak begitu menghiraukan undangan tenang dari Belanda, lantaran Belanda sudah biasa bersikap licik. Belanda lalu minta santunan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang berjulukan Sulaiman Aljufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka kaum padri biar sanggup diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol biar bersedia berdamai dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata merespon undangan tenang itu.

Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Itulah sebabnya pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :
• Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
• Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
• Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melaksanakan perjalanan
• Secara sedikit demi sedikit Belanda akan melarang praktik tubruk ayam.

3. Perang Padri tahap ketiga yaitu terjadi pada tahun 1830 – 1837 / 1838

Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah Perang Padri fase ketiga.

Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapat simpati dari kaum Adat. Dengan demikian kekuatan para pejuang di Sumatera Barat akan meningkat. Orang-orang Padri yang mendapat dukungan kaum Adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda. Kaum Padri dari Bukit Kamang berhasil memutuskan sarana komunikasi antara benteng Belanda di Tanjung Alam dan Bukittinggi. Tindakan kaum Padri itu dijadikan Belanda di bawah Gillavry untuk menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek, serta membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang hingga ke Biaro. Batang Gadis, sebuah nagari yang mempunyai posisi sangat strategis terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar juga diduduki. Tahun 1831 Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapat pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch biar melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri.

Tahun 1834 Belanda sanggup memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol. Jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan kawasan pantai sudah diblokade oleh tentara Belanda. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan akrab Bonjol jatuh ke tangan Belanda. Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau berdamai tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain bila tercapai perdamaian Imam Bonjol minta biar Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda. Tetapi Belanda tidak memberi jawaban. Justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol.

 Semenjak Indonesia berada dalam masa kolonial Asal Usul Perang Padri

Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap sanggup dipertahankan oleh pasukan Padri. Akan tetapi satu per satu pemimpin Padri sanggup ditangkap. Hal ini terang sanggup memperlemah pertahanan pasukan Padri. Namun di bawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Minangkabau. Bulan Oktober 1837, secara ketat Belanda mengepung dan menyerang benteng Bonjol. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Pasukan yang sanggup meloloskan diri melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Imam Bonjol sendiri lalu dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga meninggalnya pada tanggal 6 November 1864

Dengan mengetahui sejarah wacana perang Padri, semoga kita sanggup lebih memahami bagaimana usaha bangsa Indonesia dikala masih dalam masa kolonial, terutama pada masa penjajahan. Demikian artikel kami wacana Perang Padri Semoga artikel kami wacana Perang Padri bagi para pembaca.

0 Response to "Asal Undangan Perang Padri"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel